PROBOLINGGO, KOMPAS.com - Peluang ekspor tokek kering masih terbuka lebar bagi pengusaha di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Namun, pengusaha daerah itu hanya mampu mengirim rata-rata 100.000 ekor per tahun dari permintaan 1 juta ekor dari importir asal China.
Budidaya tokek dikembangkan di Kecamatan Tegalsiwalan, Probolinggo. Seorang pengusaha bersama 10 peternak plasma mengembangkan budidaya tokek dengan melibatkan sekitar 100 warga.
Tokek kering diekspor ke China untuk bahan baku obat-obatan dengan harga Rp 40.000 per kilogram. Adapun tokek hidup dipasarkan di pasar domestik, juga untuk bahan obat-obatan, terutama obat kulit, seharga Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per ekor.
”Tahun ini, kami baru bisa mengekspor 100.000 tokek kering. Padahal, importir sanggup menampung 1 juta ekor per tahun,” kata Didik Prabudi (44), pengusaha tokek kering, Kamis (29/10) di Probolinggo.
Menurut Didik, selama ini importir menutupi kekurangan pasokan dari Indonesia dengan mengimpor tokek dari Thailand, Kamboja, dan Vietnam. ”Importir sebenarnya lebih memilih tokek kering dari Indonesia karena harganya lebih murah,” katanya.
Ia menambahkan, guna mengembangkan produksi, peternak plasma perlu diperbanyak. Persoalannya, mayoritas warga di Tegalsiwalan tak punya modal untuk memulai usaha itu karena mereka petani tegalan yang berpenghasilan minim.
”Sebenarnya banyak yang tertarik karena budidaya tokek ini bisa meningkatkan ekonomi warga. Mereka selama ini selalu menganggur sepanjang musim kemarau karena tanah kering kerontang tak bisa digarap,” kata Sumarto (35), peternak plasma, yang bisa meraup omzet rata-rata Rp 2 juta per bulan.
Lebih bagus
Didik menyebutkan, kualitas tokek kering dari Thailand lebih bagus daripada tokek asal Indonesia. Peternak Thailand sudah mengembangkan secara modern, sedangkan di Indonesia lebih banyak secara otodidak. Literatur budidaya dan pengolahan tokek pun masih sulit ditemukan.
Pengendali Ekosistem Hutan Seksi Konservasi Wilayah VI Probolinggo, Mohamad Syamsuddin, menjelaskan, tokek tergolong satwa liar tak dilindungi. Peredaran tokek untuk kepentingan komersial bisa dilakukan, tetapi dibatasi sistem kuota yang dikeluarkan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan.
Untuk peredaran tokek yang bahan bakunya berasal dari hasil tangkapan di alam, kuota ditetapkan berdasarkan keseimbangan populasi yang tersedia di alam. Adapun untuk peredaran tokek yang dihasilkan dari penangkaran, kuota ditetapkan berdasarkan kapasitas produksi masing-masing pengusaha. ”Jika pengusaha menambah kapasitas produksi, kuota akan disesuaikan,” kata Syamsuddin.
Tahun ini, kuota tokek hasil tangkapan di alam secara nasional 50.000 ekor. Kuota terbesar di Nusa Tenggara Barat 10.000 ekor. Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat masing-masing 6.000 ekor. Sisanya dibagi untuk beberapa daerah. (las)
Post a Comment
Post a Comment