Mungkin tak banyak yang menyangka bahwa tokek ternyata bernilai jual tinggi. Bahkan, hewan yang sefamili dengan cicak itu, telah menjadi komoditas ekspor yang sangat menjanjikan, karena omzetnya bisa mencapai miliaran rupiah.
Laporan BASKORO SEPTIADI, Semarang
Tak percaya? Bertanyalah kepada David Hendra. Pria 52 tahun itu adalah salah seorang warga Semarang yang menekuni bisnis tokek.
"Sekali transaksi, saya bisa mengantongi uang ratusan juta rupiah. Bahkan hingga miliaran rupiah," ungkap pria kelahiran Probolinggo, 24 November 1957 tersebut, ketika ditemui Radar Semarang di kediamannya, Jl Puspowarno Tengah, Semarang Barat, Kamis (10/12).
Hendra menjelaskan, tokek yang bernilai jual tinggi itu memang bukan sembarang tokek. Beratnya per ekor harus lebih dari 3,5 ons. "Umumnya berat tokek di bawah 2 ons. Itu tak laku dijual. Kalaupun dijual, paling hanya laku Rp 2 ribu-3 ribu per ekor buat obat," jelasnya.
Dia menambahkan, tokek sendiri bisa dibagi menjadi tiga jenis: tokek hutan, tokek batu dan tokek rumah. Masing-masing memiliki ciri khas yang membedakan. Namun, di antara ketiga jenis tokek itu, tokek rumah-lah katanya yang paling mahal.
Untuk tokek rumah seberat 5-5,9 ons, harganya bisa mencapai Rp 250 juta per ons, sehingga per ekornya bisa laku sampai Rp 1 miliar. "Bahkan, tokek dengan berat lebih dari 5,9 ons dihargai Rp 500 juta per ons," tuturnya.
Hendra yang baru setahun menekuni bisnis tokek itu, menyatakan baru saja melakukan transaksi tokek rumah seberat 7 ons. Untuk transaksi itu, si mediator (penghubung, Red) meminta bayaran Rp 500 juta. "Anda percaya atau tidak, tapi ini benar-benar terjadi," tegasnya meyakinkan.
Untuk jenis tokek lain, lanjut Hendra, harganya memang tak setinggi tokek rumah. Tokek batu misalnya, harganya hanya Rp 5 juta per kg dan harga tokek campuran cuma seperempat harga tokek rumah. "Tokek batu itu besar-besar. Seekor bisa lebih dari 1 kg," ujarnya.
Karena harganya yang sangat menggiurkan, wajar saja bisnis tersebut sekarang menjadi santapan empuk para tukang tipu. Modus penipuannya bisa dilakukan dengan pemberian obat, makanan, atau alat pemberat lain yang mampu meningkatkan berat badan tokek. "Pernah ada yang memasukkan gotri (peluru) di tubuh tokek biar beratnya tambah," ceritanya.
Namun, pengusaha multi-talenta tersebut memiliki cara sendiri untuk mengantisipasi penipuan dalam bisnisnya itu. Suami Tabita Sriwatiningsih tersebut menyatakan telah memiliki jaringan perdagangan tokek yang kuat. Mayoritas pembeli yang dilayaninya adalah konsumen di luar negeri.
Sementara untuk jaringan ke bawah, mulai dari para penjual dan pengumpul, Hendra menggunakan cara tersendiri guna mencegah penipuan. Yakni, penjualannya melalui foto, serta pembayaran melalui beberapa tahap. "Usaha dengan omzet miliaran seperti ini rawan penipuan. Kalau tidak cermat, akan mudah ditipu makelar. Karena itu, saya punya cara sendiri untuk mengatasi penipuan," ujarnya.
Dia menjelaskan, sistem penjualan tokek dipasarkan melalui foto tertutup. Tokek tidak diperlihatkan secara utuh. Namun, tokek difoto di atas timbangan digital, yang di sampingnya diletakkan koran untuk mengetahui tanggal berapa tokek tersebut difoto.
Foto tersebut kemudian dipasarkan melalui internet atau dikirim dalam bentuk print out. Orang yang hendak membeli tokek harus lebih dulu menyatakan sanggup bertransaksi dengan mentransfer sejumlah uang. "Selanjutnya, saat terjadi transaksi langsung, barulah dibayar lunas," jelasnya.
Untuk pembelian dari pengumpul atau pemilik, Hendra menggunakan tiga tahap pembayaran untuk menghindarkan penipuan. Pertama, pernyataan kesanggupan dengan membayar sejumlah tertentu. Lalu, selama beberapa hari, dia mengamati kondisi kesehatan tokek. Jika tokek tetap sehat, dirinya baru membayar uang muka. Baru setelah beberapa minggu dipastikan tokek dalam keadaan aman dan sehat, dia membayar lunas harga yang disepakati.
"Tentunya, kita harus lebih cerdas dari para penipu. Saya sudah punya pengalaman ditipu orang. Itu menjadi pengalaman paling berharga," kata pria yang sehari-hari mengendarai Honda Jazz merah tersebut.
Hendra menambahkan, mayoritas tokek itu dijual ke luar negeri. Namun, dengan alasan bisnis, dia enggan menyebutkan negara-negara pengimpor tokek asal Indonesia itu. "Ya, pokoknya dibeli orang luar sana, Mas," tegas bapak empat anak itu.
Di luar negeri, tokek yang beratnya lebih dari 3,5 ons tersebut digunakan untuk bahan penelitian. Termasuk untuk menciptakan obat-obatan, pembuatan senjata biologi, serta kepentingan teknologi biologis lainnya. "Tokek untuk pengembangan teknologi ke depan tidak akan surut. Justru permintaan akan semakin tinggi," ujarnya optimistis.
Untuk mengembangkan bisnis tersebut, selain di Semarang, kini Hendra telah mampu membuka lima kantor pemasaran. Masing-masing yakni di Bekasi, Bandung, Surabaya, Denpasar dan Jakarta. Kantor cabang tersebut, selain untuk bisnis tokek, juga dimanfaatkan Hendra untuk bisnis lain yang telah ditekuninya lebih dulu, yaitu kursus bahasa, pembuatan website, serta bisnis handphone dan komputer.
Post a Comment
Post a Comment